Blog tentang Batak dan segala sesuatu tentangnya.

Kamis, 01 Juni 2017

Dulu, Namanya Bukan Pulau Samosir, Tapi...


SOPO - Pulau Samosir di tengah Danau Toba sudah melegenda hingga ke ujung dunia. Tak ada yang bisa membantah bahwa alam Toba ini sangat indah, menakjubkan dan penuh pesona. Tapi di balik keindahan itu, adakah yang pernah bertanya, mengapa pulau itu dinamai Samosir? Sejak kapan diberi nama Samosir dan siapa yang memberi nama itu?

Danau Toba
Menurut legenda, ada seorang pemuda bernama Toba menikah dengan perempuan cantik jelmaan ikan. Dalam ikrar pernikahan, apapun yang terjadi, Toba tidak boleh mengatakan kepada siapapun bahwa itu wanita jelmaan ikan, termasuk kepada anak-anak mereka.

Mereka kemudian punya anak yang diberi nama Samosir. Dalam perkembangannya, anak bernama Samosir itu sangat bandal dan nakal. Hingga suatu kali, Toba sangat marah dan jengkel dan dari mulutnya terlontar: "Dasar anak ikan..."

Samosir mengadu pada ibunya. Si ibu sangat sedih karena suaminya melanggar sumpah. Ibunya lalu menyuruh Samosir pergi ke bukit dan memanjat pohon paling tinggi. Tidak lama kemudian, si ibu pergi ke sungai. Setelah sampai sungai, kilatpun menyambar diikuti suara gemuruh yang menggelegar, lalu ia meloncat ke sungai dan berubah jadi ikan lagi.

Hujan turun dengan sangat lebat, dan terjadilah banjir yang begitu besar. Toba tenggelam dan tak bisa menyelamatkan diri. Semakin lama air semakin luas, sehingga membentuk sebuah danau yang begitu besar yang sekarang kita kenal dengan nama DANAU TOBA, sedangkan pulau yang ada ditengah-tengah danau itu adalah PULAU SAMOSIR.

Itu menurut cerita rakyat. Tapi berdasarkan fakta ilmiah ternyata pulau itu dulu belum bernama dan penamaannya tergantung wilayah dimana orang bermukim. Hal itu terungkap dalam buku Toba Na Sae, karangan Sitor Situmorang.

Menurut Sitor, pulau di tengah danau itu dulunya tak punya nama khusus. Ia dinamai berdasarkan cara pandang orang-orang Batak berdasarkan peta bius lama dan peta genealogis (asal-usul) marga. Sebelum abad ke-19, orang-orang yang tinggal di Haranggaol menyebut pulau di tengah danau sebagai Tano ni Sumba, artinya tanah atau wilayah Sumba.

Dapat dipahami bahwa Tano ni Sumba mengacu pada pengertian bahwa tanah itu milik kelompok marga-marga Sumba. Sementara di Balige (wilayah selatan Danau Toba), orang-orang berkata bahwa pulau itu Tano ni Lontung, atau wilayah Lontung. Yang artinya adalah wilayah milik kelompok marga Lontung atau Tateabulan.

"Semula pulau ini memang tidak memiliki nama khusus," tulis Sitor Situmorang dalam bukunya. Lalu kapan pulau itu dinamai Samosir.

Menurut Sitor, Belanda menamai pulau itu Samosir pada awal tahun 1908 setelah Belanda memasukkan kawasan itu ke dalam Distrik Samosir dalam peta administratif kolonial. Sedangkan Samosir diambil dari nama sebuah desa di ujung paling selatan pulau tersebut.

Teryata pulau itu memang dikuasai secara genealogis. Bagian utara dikuasai oleh bius-bius yang didirikan leluhur-leluhur marga Sumba, sedangkan bagian selatan dikuasai oleh bius-bius yang didirikan leluhur kelompok marga Lontung. Masing-masing kelompok ini mengakui adanya batas imajiner yang memisahkan kedua wilayah.

Ada kesepatakan tak tertulis yang dipahami dan diakui secara bersama-sama yang memisahkan bagian utara dan selatan. Garis itu dikhayalkan membentang dari pantai timur (Ambarita/Tomok) hingga pantai Barat (Palipi). Itulah mengapa orang Balige (Toba Holbung) menyebut pulau itu sebaga Tano ni Lontung, sedang di sebelahnya, menghadap Simalungun, pulau itu disebut Tano ni Sumba. (Sumber: Toba Na Sae, Sitor Situmorang)

Loading...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar