SOPO - Beberapa waktu lalu, Bupati Tapanuli Utara (Taput) Nikson Nababan mengusulkan pergantian nama Bandara Silangit menjadi Bandara Munson-Lyman. Nikson sebenarnya tidak menghilangkan 'Silangit'. Nama yang diusulkan adalah Bandara Munson-Lyman Silangit.
Pusara Lyman-Munson. |
Sebagaimana diketahui, Munson dan Lyman adalah dua misionaris asal Amerika Serikat yang pada tahun 1834 diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston. Menurut sejumlah cacatan sejarah, Munson-Lyman tiba di Tanah Batak tanggal 17 Juni 1834, tepatnya di Sibolga. Setelah dua hari berada di bandar Tapian Nauli itu, mereka melanjutkan perjalanan ke arah Silindung. Mereka didampingi seorang penerjemah, tukang masak, polisi, dan 8 orang lainnya. Rombongan kecil ini berangkat pada suatu senja yang indah pada 23 Juni 1834, menembus belantara, lembah-lembah dan pegunungan yang dingin. Konon, adakalanya mereka merangkak menembus rimba raya dan medan yang sulit.
Tapi bagi Munson dan Lyman, rintangan itu tiada arti karena didorong kecintaan yang indah untuk menyebarkan ajaran Kristen. Jauh sebelumnya, Munson dan Lyman sesungguhnya sudah mengimpikan Tanah Batak, sebab ketika mereka masih sekolah pendeta di negerinya, sejumlah literatur telah mereka dapat tentang indahnya Tanah Batak, tapi masyarakatnya masih menganut kepercayaan lama.
Berkat kecintaan yang menggetarkan itu, pada hari yang indah 9 Juli 1833, mereka diberangkatkan dari Boston, Amerika Serikat, dengan sebuah perjamuan gereja yang hangat dan penuh kepasrahan, sebab siapapun tahu, berlayar ribuan mil untuk negeri yang jauh, tak ada kepastian untuk kembali. Hindia Belanda nama negeri tujuan itu. Negeri yang kelak tertakdir jadi tanah pekuburannya.
Singkat cerita, Munson-Lyman tiba di Batavia, sejenak belajar Bahasa Melayu sebelum akhirnya bertolak ke Tanah Batak. Anak dan istri mereka yang ikut dari Boston, tinggal di Batavia. Selama pelayaran dari Batavia, mereka sempat singgah di beberapa kota seperti Bengkulu dan Padang. Seperti diketahui, pantai barat adalah lautan ganas, yang penuh dengan ombak-ombak liar. Mereka bertahan menerobos hempasan laut yang keji. Dan adakalanya sangat sedih ketika harus meninggalkan anggota rombongan yang wafat di perjalanan.
Maka alangkah bahagianya ketika mereka tiba di Silindung, hamparan alam yang indah menyambut pada sore yang hangat itu. Ketika tiba di tepian kampung, Munson mengutus penerjemah untuk mengetahui keadaan di kampung tersebut sebelum memasukinya. Namun si penerjemah tak pernah kembali. Dalam kembimbangan, tiba-tiba semak belukar di sekitar mereka berderak. Serombongan muncul dengan teriakan-teriakan mengancam. Meski berupaya bernegosasi dengan berbagai bahasa isyarat, tapi kesalahpahaman jua akhirnya memutus kisah. Pendeta Lyman terlebih dahulu roboh. Munson pasrah dipukuli tanpa melawan, dan akhirnya tewas. Mereka mati sebagai martir.
"Begitulah, harus ada yang mati martir untuk mewujudkan misi zending itu. Munson-Lyman adalah martir bagi kita, bagi kekristenan di Tanah Batak. Mereka adalah peletak sejarah mengharukan, yang patut dikenang seperti Nommensen," ujar Nikson Nababan.
Sesungguhnya, pekabaran injil ke Tanah Batak bisa dikatakan berlangsung tiga gelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1820-an, Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil, yaitu Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans. Keduanya berhasil masuk ke Tanah Batak. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Tapi karena kesalahpahaman, mereka diusir dan pulang dengan selamat, lalu menjalankan tugas kependetaan di kota-kota Hindia Belanda.
Sepuluh tahun kemudian, Samuel Munson dan Henry Lyman datang lagi ke Silindung dan mendapati ajal seperti sudah diceritakan. Gelombang terakhir, Nommensen tiba di Tanah Batak pada pertengahan tahun 1862. Meski nyaris terbunuh juga, ia berhasil mengabarkan injil. Nommensen kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”.
"Tapi Ompu I sudah besar dan nyata bagi kita. Munson-Lyman nyaris dilupakan, dan kita patut mengenangnya. Saya pikir kesempatan terbaik mengenang mereka adalah membuat Bandara Silangit menjadi Bandara Munson-Lyman Silangit, agar kelak generasi muda menghargai jejak nenek moyang, yang sesungguhnya bisa kita maknai sebagai martir dan nilai-nilai sejarahnya perlu dipelajari lagi," tambah Nikson Nababan.
Sebagaimana diberitakan, sejumlah masyarakat menyampaikan penolakan atas usulannya itu. Sejumlah orang berpendapat, jika memang Bandara Silangit harus berganti nama, maka sebaiknya diberi nama Bandara Sisingamangaraja atau Bandara Nommensen, bukan Munson-Lyman.
"Saya memahami itu dan kita letakkan penghargaan setinggi-tingginya kepada Sisingamaraja dan Ompu Nommmensen. Tapi seperti saya katakan, tokoh itu sudah melegenda dan dikenal luas. Kenangan Munson-Lyman yang perlu kita bangkitkan untuk mempelajari ulang nilai-nilai baru yang tak kalah menakjubkan," ujar Nikson sembari berharap, usulan itu dapat dipahami semua pihak dan pemerintah menyetujuinya.
Sekedar diketahui, Samuel Munson lahir pada 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, dan Henry Lyman lahir 23 November 1809 di Northhampton, Amerika Serikat. Kedua missionaris ini berbeda karakter dan inteligensia pada masa kecilnya. Munson adalah anak yang pintar dan cerdas, sementara Lyman anak nakal yang sampai masa remajan masih anti gagasan keagamaan. Tapi akhirnya ia masuk ke sekolah pendeta dan bertemu dengan Samuel Munson, lalu menyerahkan raga dan jiwanya sebagai missionaris ke Lembah Batak yang indah. (bbs/int)
Loading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar