Blog tentang Batak dan segala sesuatu tentangnya.

Rabu, 19 Desember 2018

Sedih! Nisan Salib Dipotong, Doa Kematian Batal


SOPO - Prosesi doa kematian gagal dilakukan dalam acara pemakaman jenazah seorang warga Katolik karena mendapat penolakan dari warga. Hal itu terjadi pada pemakaman Albertus Selamet Sugihardi, warga Kristen di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta.

FOTO: YAYA ULYA/BBC NEWS INDONESIA
Soleh Rahmad Hidayat (38), Ketua RT di tempat tinggal mendiang Slamet, mengakui penolakan saat pemakaman pada Senin (17/12/18) kemarin itu.

"Sembilan puluh sembilan persen warga di sini Muslim. Jadi sudah menjadi aturan, biar tidak menimbulkan konflik," kata Soleh, Selasa (18/12), saat ditemui sejumlah wartawan di rumahnya yang tak jauh dari rumah mendiang Slamet.

Menurutnya, itu hasil keputusan warga dan sesepuh kampung, bahwa dalam upacara penguburan itu tidak boleh ada doa di pemakaman, dan tidak boleh ada simbol salib. Akhirnya salib yang disiapkan dipotong dan sisanya ditancapkan ke tanah sangat rendah.

"Yang motong salib warga kampung karena memang tidak boleh dengan atribut salib. Pemotongan saat itu juga," katanya seperti dilansir BBC News Indonesia.

Kompleks pemakaman tempat jenazah Slamet dikuburkan sebenarnya tempat pemakaman umum dan masih di daerah Purbayan, tidak jauh dari rumah mendiang, dan bukan merupakan pemakaman Muslim. Namun kata Soleh, sudah ada kesepakatan dengan pihak keluarga mengenai tidak diperbolehkannya doa saat di makam dan penancapan salib di atas makam.

"Kesepakatannya tidak tertulis. Setelah itu baru tertulis," kata Soleh.

Kesepakatan tertulis yang bermaterai itu tertanggal 18 Desember, sehari setelah pemakaman. Yang bertanda tangan di bawah adalah isteri mendiang Slamet, Maria Sutris Winarni, Ketua RT 53 Soleh Rahmad Hidayah, Ketua RW 13 H. Slamet Riyadi, dan H. Bedjo Mulyono, yang disebut sebagai tokoh masyarakat.

Maria Sutris Winarni, isteri mendiang Slamet, karena keadaan, menerima saja perlakuan terhadap jasad suaminya itu dan menandatangani kesepakatan. Ia menolak bicara. "Saya tidak bisa, sedang berkabung," katanya saat ditemui di rumahnya.

Dia tidak mau memberikan komentar lebih lanjut. Rumahnya pun sepi, tanpa kursi atau tikar yang digelar, yang biasanya tampak di rumah warga yang sedang berkabung.

Bedjo Mulyono, tokoh masyarakat dan salah satu penandatangan 'surat pernyataan' tersebut, menyatakan, kendati Pemakaman Jambon adalah pemakaman umum, mereka mengambil keputusan itu 'karena iklim Kota Gede tidak mendukung.' "Mengenai makam Jambon, walaupun belum resmi tapi akan diresmikan menjadi makam Muslim," kata Bedjo.

Jenazah Slamet, lanjut Bedjo, boleh dimakamkan di pemakaman tersebut karena masih warga sekitar dan dalam kondisi darurat. Namun dengan syarat-syarat yang mereka tentukan. "Jadi kesepakatannya, boleh makam di situ asal dipinggirkan dan tidak boleh ada simbol Nasrani. Ini ada pernyataannya," jelas Bedjo sambil menujukkan surat pernyataan tersebut.

Agustinus Sunarto, pengurus Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Bantul, terpaksa mengatur pelaksanaan doa bagi arwah Slamet, di gereja dan bukan di rumah mendiang.
Pengurus Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Bantul, Agustinus Sunarto, mengaku mendengar kabar penolakan warga terhadap niat keluarga mendiang Slamet untuk mengadakan doa di rumah.

"Rencananya doa di rumah jam delapan malam. Tapi ada beberapa warga yang keberatan, akhirnya dipindahkan di sini, di gereja," kata Sunarto saat ditemui di gereja.

FOTO: YAYA ULYA/BBC NEWS INDONESIA

Lanjut Sunarto, Bedjp adalah warga yang mengurus dan berkomunikasi dengannya soal pemakaman mendiang Slamet. "Katanya waktu itu, Pak Slamet bisa dimakamkan di Purbayan, karena orang Purbayan. Dan lokasi pemakaman adalah makam kampung sehingga siapa saja bisa dimakamkan di situ," kata Sunarto. Namun dengan syarat-syarat tertentu itu.

Peristiwa ini disesalkan Timotius Apriyanto, Sekjen Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB). "Padahal konstitusi menjamin seluruh warga negara untuk menggunakan simbol keagamaan dalam upacara keagamaan," imbuhnya.

Ia cemas, masyarakat DIY tidak lagi memahami makna subtansial dari toleransi dan keberagaman di Indonesia. "Minoritas diminta menghormati mayoritas," katanya. Sementara sebaliknya, tidak. (Sumber: BBC NEW Indonesia)


Loading...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar