SOPO - Selama berabad-abad sebelum masuknya kolonial, Toba hanya memiliki akses ke pesisir barat. Artinya, kontak sosial dan aktivitas dagang masyarakat Toba masih berkiblat ke Barus dan Tapian Nauli (Sibolga sekarang). Ketika itu, Toba belum terhubung dengan Pematangsiantar apalagi Medan.
Jalan Siantar-Parapat. |
Pembangunan jalan dari Pematangsiantar ke Parapat dilanjutkan pada tahun 1917, terus ke Tarutung dan dilanjutkan ke Teluk Tapian Nauli. Maka, mulai tahun 1920-an, kawasan Negeri Toba (yang disebut Belanda Bataklanden) telah terbuka dan terhubung dengan lalu-lintas modern. Jalur itulah yang sekarang kita kenal jalan Trans-Sumatera mulai dari Medan, Pematangsiantar, Toba hingga Teluk Tapian Nauli atau Sibolga.
Sitor mengatakan, terbukanya jalur itu telah menyebabkan percepatan orientasi masyarakat Toba baik di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Dan kondisi terbuka ini disokong oleh misi zending hingga ke desa-desa terpencil di kawasan Toba.
Sebagai dampak dari pembukaan jalur itu, di sepanjang jalan dari Parapat hingga Tarutung, mulai tumbuh dan bermunculan desa-desa yang kemudian berkembang menjadi kota-kota kecil dalam bentuk pasar (onan). Maka muncullah Porsea, Balige, Tarutung sebagai kota kecil, yang sebelumnya tak pernah ada.
Sitor menuliskan bahwa keberadaan jalur itu telah mengubah wajah dan jantung Toba secara total. Orientasi geografis berubah dari pesisir Barat ke pesisir Timur. Gagasan spritual dari agama asli juga beralih secara drastis ke teologi Kristen dan Islam.
Selain itu, masyarakat Toba juga mulai mengalihkan kepercayaan atas mitos-mitos. Mereka mulai hidup sebagai manusia yang rasional dan ilmiah. Dan tentu, mereka mulai bercita-cita meraih hamajuon (kemajuan). Dan sejak itu orang-orang Toba mulai berbondong-bondong merantau ke Tanah Deli (Medan) untuk meraih pendidikan dan kebidupan ekonomi yang layak. ***
(Sumber: Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, karangan Sitor Situmorang)
Loading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar